Material termokromik mulai dikembangkan pada tahun 1904 oleh Hans Stobbe ketika mengamati perubahan warna dibenzylidene-succinic anhydride dari kuning (temperatur -180oC) menjadi coklat (temepratur 160oC). Fenomena tersebut diberi nama termokromisme yang berarti dapat mengalami perubahan warna secara bertahap akibat perubahan temperatur dan bersifat reversibel.
Selanjutnya, W.T. Grubb dan G.B. Kistiakowsky dari Gibbs Chemical Laboratory, Universitas Harvard mengamati gejala termokromisme pada senyawa diphenylmethyleneanthrone dan dianisylmethyleneanthrone melalui studi spektroskopik. Selain itu, Walter Theilacker, Gustav Kortüm, dan Gerd Friedheim juga melaporkan pemeriksaan spektografis dalam rentang spektral dari senyawa bianthrone dan dixathylene yang memiliki pita penyerapan yang bergantung pada temperatur area yang dianalisis, yang mana intensitas spektrografisnya meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur.
Termokromisme mulai banyak dikembangkan pada skala laboratorium sekitar tahun 1950 hingga 1960-an. Pada masa tersebut, dikembangkan pula jam tangan digital pertama berdasarkan teknologi kristal cair (liquid crystal). Material termokromik pun dikembangkan dengan teknologi kristal cair seperti pada jam digital, hanya saja jika kristal cair menggunakan arus listrik untuk mengontrol warnanya, pada termokromisme digunakan kalor untuk mengontrol warnanya. Perubahan warna disebabkan oleh perubahan jarak kesetimbangan antara lapisan molekul yang sejajar. Hal tersebut mengubah panjang gelombang cahaya yang dipantulkan (diterima oleh mata) karena proses interferensi cahaya pada berbagai lapisan dalam kristal cair. Secara sederhananya, jika pada kondisi dingin terdapat 2 lapisan molekul yang sejajar, maka pada kondisi panas terdapat lebih dari 2 molekul yang sejajar sehingga mempengaruhi panjang gelombang cahaya yang dipantulkan seperti ditunjukkan pada Gambar 1.
Seiring dengan perkembangannya, terdapat beberapa material yang dapat menyerap kalor dan mengarah ke reaksi kimia yang diinduksi secara termal sehingga mempengaruhi perubahan warnanya. Namun, material yang paling sering digunakan adalah oksida logam transisi, dengan kinerja terbaik pada umumnya menggunakan struktur oksida vanadium (V2O5 dan VO2). Selain itu, penggunaan struktur hydrogel, ionic liquids, liquid crystal, dan perovskites pada material termokromik juga telh digunakan. Berdasarkan mekanisme kerjanya, material vanadium dioksida (VO2), hydrogel, dan ionic liquids mengatur intensitas absorbansi atau menggeser pita absorbansi cahaya melalui transisi fase kristal, sedangkan material termokromik berbasis hygrogel dan liquid crystal bergantung kepada pantulan karena pemisahan fasa atau hamburan cahaya datang karena transisi orientasi kristal (Ke, 2019).
Paten pertama mengenai material termokromik tertuang dalam paten berjudul Thermochromic Materials yang diajukan oleh Norikazu Nakasuji, Takashi Kataoka, Hiroshi Inagaki, dan Sunao Nakashima pada tahun 1975. Paten tersebut mengklaim bahwa material termokromik yang menunjukkan perubahan warna tajam dan reversibel pada rentang temperatur -40° C hingga 80° C dapat dibentuk dari senyawa organik kromatik yang menyumbang elektron, misalnya seperti senyawa yang mengandung gugus hidroksil fenolik atau senyawa yang mengandung gugus ester alkohol. Selain itu, paten berjudul Thermochromic Temperature Indication yang diajukan oleh Joseph Seitz juga menjadi paten yang berpengaruh dalam penggunaan fenomena termokromik sebagai indikator temperatur dengan menggunakan reversible solid thermochromic material.
Mohon maaf artikel terpotong, silakan dapatkan artikel lengkapnya di buku yang berjudul “Jendela Cerdas (Smart Windows) – Deskripsi Teknologi dan Potensi Penghematan pada Bangunan” yang diterbitkan UGM Press.