Sejarah Jendela Fotokromik

Dalam membahas sejarah fotokromik, maka akan dijelaskan terlebih dahulu sejarah cikal bakal fenomena yang mendasarinya yakni sejarah fotokimia. Hukum pertama fotokimia diformulasikan pertama kali 2 abad yang lalu tepatnya pada tahun 1800-an oleh Van Grothus dan John William Draper. Bunyi hukum tersebut adalah “Ketika sebuah molekul menyerap cahaya, maka cahaya dapat menghasilkan perubahan fotokimia di dalam molekul tersebut”. Hukum tersebut menghubungkan aktivitas fotokimia pada fakta empiris bahwa setiap senyawa kimia menyerap panjang gelombang cahaya tertentu yang bersifat unik terhadap senyawa tersebut,

Fenomena perubahan warna dari senyawa kimia ketika disinari cahaya kemudian diamati pertama kali oleh J. Fritsche di tahun 1867 ketika mengamati perubahan warna dari larutan tetracene yang berwarna oranye kemudian menjadi transparan/tidak berwarna ketika dipaparkan pada cahaya matahari, kemudian warna larutan tersebut akan kembali oranye jika diletakkan pada tempat yang gelap. Reaksi kimia dari fenomena tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 . Perubahan warna pada larutan tertacene ketika dikenakan paparan sinar matahari

Setelah penemuan Fritsche, ilmuwan lain turut menemukan fenomena serupa pada senyawa lainnya. Misalnya perubahan warna dari kuning ke merah pada garam kristal kalium dinitroetena ketika terkena paparan sinar matahari oleh Ter Meer pada tahun 1876. Kemudian perubahan warna pada senyawa turunan napthalene oleh Markwald pada tahun 1899, di mana senyawa-senyawa tersebut dapat kembali ke warna asal ketika diletakkan di tempat yang gelap. Markwald juga mencetuskan istilah fototropi untuk menjelaskan fenomena perubahan warna tersebut, namun pada akhirnya istilah tersebut tidak digunakan karena tidak tepat dan mirip dengan istilah fototropisme yang menggambarkan fenomena biologis pertumbuhan organisme sebagai respon terhadap cahaya.

Barulah pada tahun 1954, Yehuda Hirshberg menggunakan istilah yang lebih tepat yakni fotokromik atas temuan perubahan warna dari transparan ke ungu pada senyawa spiropyrans setelah dipaparkan sinar ultraviolet (UV). Senyawa tersebut dapat kembali ke warna asal (transparan) ketika diletakkan di tempat yang gelap sehingga bersifat reversibel. Istilah fotokromik berasal dari dua kata Yunani yakni photos yang berarti cahaya, chroma yang berarti warna, dan imbuhan -ism yang berarti fenomena (Periyasami, 2017). Berdasarkan definisi IUPAC, fenomena fotokromik adalah perubahan warna secara reversibel pada suatu material yang disebabkan oleh induksi cahaya. Dalam bahasa yang lebih sederhana, perubahan warna secara reversibel pada suatu material terjadi melalui paparan radiasi elektromagnetik (pada umumnya sinar UV atau cahaya tampak). Setelah penemuan dan publikasi oleh Hirshberg yang dijuluki juga sebagai penemu fotokromik, material fotokromik banyak digunakan terutama untuk pelapis pada lensa kaca mata.

Meski fotoromik telah digunakan sejak tahun 1960 pada lensa kaca mata untuk mengurangi transmisi cahaya matahari agar tidak memberikan efek silau kepada mata, terdapat keterbatasan untuk pengembangan lebih lanjut pada masa tersebut karena kesulitan teknis seperti pengukuran kinetika perubahan warna (Periyasami, 2017). Penelitian mengenai fenomena fotokromik kemudian mengalami perkembangan yang pesat pada tahun 1990-an karena kemajuan di bidang fotokimia. Pada periode tersebut fotokromik dikelompokkan berdasarkan material penyusunnya yakni material organik dan material anorganik.

Material fotokromik organik yang banyak tersedia saat ini adalah diarylethenes, fulgides, azobenzenes, spiropyrans, spirooxazines, dan naphthopyrans. Sementara itu, material fotokromik anorganik meliputi alkali halida, logam transisi, sodalite, dan apatite. Molekul penyusun material tersebut mengalami eksitasi ketika diradiasi pada panjang gelombang tertentu dalam spektrum elektromagnetik. Beberapa senyawa merespon dalam kisaran panjang gelombang UV 200-400 nm dan senyawa yang lain dalam kisaran 430–435 nm, namun sangat sedikit yang tereksitasi di spektrum cahaya tampak. Pada umumnya material fotokromik anorganik mengalami eksitasi pada rentang spektrum 200-400 nm sedangkan material fotokromik organik tereksitasi pada spektrum cahaya tampak yakni 400-700 nm. Oleh karena itu, banyak peneliti mempelajari material fotokromik organik daripada anorganik karena mudah dan praktis dalam mengubah warna (Periyasami, 2017).


Mohon maaf artikel terpotong, silakan dapatkan artikel lengkapnya di buku yang berjudul “Jendela Cerdas (Smart Windows) – Deskripsi Teknologi dan Potensi Penghematan pada Bangunan” yang diterbitkan UGM Press.